Jumat, 22 Mei 2020

Generasi Terakhir di Bumi



Tulisan kali ini kurang lebihnya akan berisi sebuah keluhan dan berbagai rasa yang kualami selama pandemi covid-19. Setidaknya sudah tiga bulan kita hidup terbelenggu di dalam rumah dan tidak bisa melakukan kehidupan yang normal seperti dahulu. Semua roda kehidupan rasanya terhenti, taman bermain yang tak terisi tawa lagi, sekolah yang kosong akan ilmu, dan tempat kerja yang beristirahat. Kami semua bisu dan tak mampu melakukan apapun.

Masih segar rasanya waktu kabar kasus pertama muncul di Depok bulan februari lalu, minggu itu saya tengah gencar melakukan bimbingan tugas akhir bersama dengan dosen saya, dan akhir pekannya mendapat kabar seperti itu. Saya kira mungkin kasus ini seperti flu biasa awalnya, selagi dua pasien itu sudah ditangani mungkin akan selesai. Saya masih beraktifitas seperti biasa, kota masih ramai, bus-bus masih sesak dipenuhi penumpang, namun rasanya ada yang berbeda semuanya terasa saling mencurigai, dan waspada. Saat mendengar deham, mata saling menatap curiga “Ah, korona nih, korona pasti.”
Sampai akhirnya satu minggu pertama kasus semakin bertambah, dan pemberitahuan tentang penutupan fasilitas masyarakat datang beruntun. Hingga akhirnya kota mengalami mati bisu.

Rasanya baru kemarin saya mengeluh karena mengalami kesulitan untuk melakukan bimbingan, sampai pusing memilih menu pecel lele atau ayam geprek untuk makan siang bersama dengan teman saya. Jika saya tahu hari itu adalah kali terakhir keadaan normal maka saya akan memilih untuk berhenti, nernapas dan menikmati setiap detiknya. Hingga hari demi hari berlalu, dan rasa rindu rasanya sudah menggunung. Saya merasa jadi orang paling kaya jika rindu dapat diuangkan.

Siklusnya mungkin sama dengan teman-teman yang lainnya, saya merasa bosan di rumah sampai rasanya stres dan tak kuat lagi di penjara di rumah. Tapi, jika saya egois dan memutuskan untuk keluar maka saya hanya akan menyulitkan orang lain. Begitu terus pertentangan yang terjadi di dalam isi kepala saya saat itu.

Kalian pasti pernah merasakan lelah sampai rasanya menangis pun tak sanggup, hanya ada pilu yang menyayat karena tak kunjung disalurkan. Minggu-minggu awal saya kalut karena tentu saja kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan akan berkurang, padahal niat besar untuk membantu keluarga di tahun ini sudah terpupuk dari lama, tapi pupus begitu saja. Mungkin, saya masih lebih beruntung walaupun tak memiliki pekerjaan tak membuat hidupku berhenti. Tapi, saat melihat puluhan, ratusan bahkan ribuan pekerja mengalami PHK secara besar-besaran. Segala sumber ekonomi terputus, dan kami hanya meraung tak sanggup berbuat apa-apa. Padahal kami hanya bekerja di bawah nama besar mereka, mengambil sisa-sisa kepemilikan yang tak seberapa, namun begitu adanya.

Sampai semuanya berhenti, dan memaksa untuk tetap bertahan hidup.

Situasi seperti makin tak terkendali, ketika mereka yang egois berbuat seenaknya. Mereka dibalik kursi-kursi hangatnya, dengan santai mengatur pola kehidupan kami. Kebutuhan pokok untuk penanggulangan virus mengalami kenaikan harga yang melonjak tinggi, kesempatan bekerja semakin dibatasi, dan tak ada yang berada di sisi kami. Pada akhirnya kami dari kelas bawah menjadi korban sesungguhnya, tak peduli seberapa serius penyakit yang kita hadapi sekarang.
Kita tidak tahu apa yang terjadi di sana, atau bagaimana dengan rencana mereka kedepannya. Kami hanya perlu percaya dengan apa yang ditampilkan, menutup mata, telinga dan semua yang membuat kepercayaan itu terasa abu-abu. Hingga akhirnya ketika kasus meningkat lebih banyak, kami hanya pasrah, karena tak banyak yang bisa didapatkan namun hidup masih tetap harus berjalan. Mungkin ini “The New Normal” yang dimaksud, ketika kehidupan kembali menjadi normal dengan nyawa yang dipertaruhkan, dan mereka yang duduk di baliknya.
Aktifitas kembali menggaung seperti tiga bulan lalu, padahal tak ada sedikit pun titik terang akan pandemi ini. Namun, seperti wacana tersebut semuanya kembali normal. Bukan egois, kami hanya berusaha untuk bertahan hidup. Pilihannya, jika tak mati kelaparan di rumah atau mati dengan virus yang menggerogoti tubuh di luar sana.
Saya sempat tak sanggup berkata ketika akhirnya, mereka yang duduk di sana kembali membuka roda kapitalis. Ketika pusat perbelanjaan kembali dibuka, tempat nongkrong yang mulai dipadati dan segala hal yang membuat kami diatur untuk keluar dan membuat kasus ini menjadi semakin buruk. Rasanya harapan kami yang berusaha untuk diam dan memutus persebaran virus menjadi pupus. Usaha dan peluh yang dikeluarkan para tenaga medis menjadi sia-sia karena orang-orang egois di luar sana. Mereka tak hanya mempertaruhkan hidup orang lain, namun nyawa mereka sendiri dan rindu dari keluarga yang mereka tahan seperti sebuah bom waktu. Para tenaga medis pasti menangis lebih banyak dari kami, dan mereka adalan orang-orang terkuat dari penghujung generasi kami.

Anak-anak yang biasanya bermain, mereka menangis dan tak dapat berbuat apa-apa. Mereka yang tak mengerti apapun, membiarkan hidupnya dibawa kemanapun cerita ini berjalan. Oleh mereka, orang-orang dewasa yang duduk di sana.
Sempat terpikirkan, apakah mungkin keadaan saat ini hanyalan sebuah rekayasa atau mungkin semuanya telah diatur sedemikian rupa. Hingga kami yang hidup di bawah langit-langit gugur satu persatu, apakah itu tujuannya? Kuharap tidak ada yang memiliki niat seperti itu, kuharap semua orang sungguh-sungguh untuk saling peduli dan memberikan genggaman tangannya satu sama lain.

Sampai akhirnya rindu dan harapan kami bisa terwujud, senyum anak-anak akan kembali hadir, dan kami yang tenang dengan kehidupan yang lebih baik.
Terimakasih untuk kalian yang berusaha dengan keras untuk menyelamatkan setiap nyawa yang ada, kaya maupun miskin, semuanya sama berharganya kan. Untuk kalian yang tetap menyimpan rindu sampai saat ini, dan kalian yang berusaha keras menjaga lampu-lampu di rumah tetap bercahaya. Jika kami adalah generasi terakhir di bumi semoga harapan akan selalu ada, semoga orang-orang saling bertukar kebaikan hingga akhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dekonstruksi dalam Penggalan Lirik Lagu BTS Pied Piper

Dekonstruksi dalam Penggalan Lirik Lagu BTS Pied Piper [Rap Monster] Berhenti menonton dan belajar untuk ujianmu Orangtuamu dan ...