Rabu, 17 Juni 2020

Jakarta Butuh Bernapas

oleh Ramdhani Kusuma Putra

(Foto: wikipedia)

Jakarta telah genap menyandang sebagai Ibukota Indonesia selama 54 tahun, sejak saat itulah berbagai pembangunan dilakukan oleh pemerintah. Mulai dari dibangunnya Hotel Indonesia, Sarinah, Stadion Gelora Bung Karno, dan patung selamat datang. Sejak saat itu pembangunan terus gencar dilakukan oleh pemerintah. Masih hangat rasanya pada tahun 2018 lalu saat diselenggarakannya Asian Games di Jakarta, berbagai fasilitas diperbaiki dan bangunan-bangunan baru berdiri untuk menyokong keberlangsungan perhelatan empat tahunan sekali tersebut.

Tahun 2020 menjadi cerita bersejarah bagi kota Jakarta, kabar pemindahan ibukota telah ramai sejak tahun lalu dan kabarnya waktu Jakarta sebagai ibukota akan berakhir di bulan Juni tahun ini. Berbagai hal telah dilalui sebagai daerah khusus ibukota. Sampai tahun 2020 menjadi salah satu tahun bersejarah di kota Jakarta, Indonesia, bahkan seluruh dunia. Pandemi covid-19 mulai merebak dan menjadi sebuah wabah yang menghampiri setiap negara di dunia, tak terkecuali kota Jakarta. Sejak kasus pertama pada Februari lalu, kasus-kasus baru terus bertambah, keringat terus dikerahkan oleh para tenaga medis, relawan, pekerja sosial dan jajaran pemerintah.
Terutama kami masyarakat yang berjuang demi mempertahankan harapan itu tetap ada.

Rasanya keberadaan Covid-19 menjadi babak baru bagi kota Jakarta, sejak kasus pertama pada Februari lalu dan mulainya penerapan lockdown wilayah dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), membuat kondisi alam di Jakarta dapat bernapas lebih baik. Dilansir melalui kompas.com Jakarta pernah mendapatkan predikat nomor satu sebagai kota dengan indeks kualitas udara terburuk nomor satu di dunia pada tanggal 29 Juli 2019, sejak saat itu Jakarta seakan tak ingin lepas dari peringkat sepuluh besar. Kabar baiknya sejak ditetapkan PSBB pada 15 Maret lalu kondisi udara Jakarta kian membaik, hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh berkurangnya penggunaan kendaraan bermotor. Seperti yang diketahui bahwa asap kendaraan bermotor menjadi penyebab nomor satu polusi udara. Penerapan kebijakan Work From Home (WFH) membuat mobilitas kendaraan menjadi berkurang, ditambah lagi pembatasan keluar masuk kendaraan dari dalam dan luar kota Jakarta. Kendaraan umum juga ikut dipangkas dan lebih dari setengahnya tidak dapat beroperasi, kesadaran masyarakat untuk tidak keluar rumah juga menjadikan Jakarta lebih segar untuk sementara waktu.

(foto: warta ekonomi)

Setidaknya kebijakan ini membuat ¾ jalanan kota Jakarta menjadi lebih lengang. Hasilnya udara di kota Jakarta menjadi lebih segar dan langit yang biasanya ditutupi asap kelabu dapat bersinar lebih cerah. Langit kebiruan dan awan putih yang muncul dengan jarang, hampir tak pernah kita lihat sejak 2019 lalu. Malam yang biasanya dipenuhi kerlap-kerlip lampu juga menjadi lebih cerah karena langit yang dipenuhi bintang, bukan hanya polusi udara, namun polusi cahaya dan polusi suara juga ikut berkurang.

Tapi, hal ini tentu saja bukanlah kabar baik bagi kita, memang sebaiknya kita mengambil hikmah dan sisi positif dari peristiwa yang terjadi saat ini. Walaupun begitu, ini bukanlah solusi jangka panjang yang dibutuhkan kota Jakarta. Perlu kebijakan yang dapat mengubah perilaku dan gaya hidup masyarakat kota, agar menjadi sebuah kebiasaan baru. Seperti pencanangan new normal yang seharusnya bukan hanya baik bagi kehidupan manusia, tapi juga bagi lingkungan.

Salah satu solusi jangka panjang yang dapat dilakukan untuk mengembalikan Jakarta yang asri adalah pembangunan dan perluasan ruang terbuka hijau. Dilansir melalui tempo.com, ruang terbuka hijau (RTH) pada Februari 2019 lalu hanya mencakup 14,9% dari luas kota Jakarta, tak sampai seperempat dari wilayah Jakarta. Kabarnya pada 2020 ini akan dilakukan pembangunan hutan kota di 16 lahan yang tersebar di setiap wilayah kota Jakarta, melihat dari kondisi sekarang sepertinya mimpi tersebut akan tersimpan sedikit lebih lama melihat aktivitas kerja belum dapat kembali seperti semula. Namun, cita-cita besar tersebut tentu saja menjadi harapan bagi keberlangsungan kondisi lingkungan kita. Memang penambahan 16 wilayah hutan kota ini masih sangat kurang untuk memperbaiki kualitas udara kembali menjadi normal. Pemerintah perlu sedikitnya mengubah sebanyak 30% wilayah untuk dijadikan ruang terbuka hijau (RTH). Selain itu penambahan alat air quality monitoring system juga perlu diperbanyak dan disebar di setiap penjuru kota Jakarta, agar pemerintah dapat mengetahui lebih pasti penyebab dari pencemaran udara, dan melakukan penanggulangan lebih cepat.

Selain itu kebiasaan yang sering kita lakukan setiap hari juga dapat mulai kita perbaiki. Pengurangan penggunaan kendaraan bermotor, dapat dijadikan solusi dan ditetapkan sebagai kebijakan baru di masa depan. Beralih dari kendaraan pribadi dengan kendaraan umum bukan hanya mengurangi macet, namun juga dapat mengurangi polusi udara. Kondisi sekarang yang mewajibkan kita menggunakan masker membuat saya teringat dengan peristiwa tahun lalu saat kebakaran hutan terjadi di Riau dan asapnya yang menyebar sampai ke luar Indonesia dan menjadi perbincangan internasional. Saat itu kondisi Jakarta juga mengalami puncak polusi udara sepanjang tahun, bahkan wilayah tempat saya belajar sempat mendapat predikat sebagai wilayah Jakarta dengan kondisi udara terburuk. Saat itu banyak mahasiswa yang menggalang dana untuk membantu korban dan kerugian akibat kebakaran hutan di Riau, juga pembagian masker yang dilakukan pada tahun lalu karena kondisi udara yang kian memburuk. Rasanya sedikit lucu jika diingat sejak 2019 lalu kita telah diperingati untuk menggunakan masker karena polusi udara, namun tak cukup untuk membuat manusia sadar akan lingkungan. Sekarang, setelah pandemi covid-19 muncul baru masyarakat saling memperebutkan untuk memiliki masker.

(foto: kompas.com)

Pandemi ini dapat menjadi titik balik yang bagus untuk kondisi lingkungan yang lebih baik di masa depan, menurut saya pemerintah dapat mengambil kesempatan ini untuk membangun kebiasaan dan aturan baru bagi masyarakatnya. Masyarakat yang semakin peduli terhadap kesehatan, bisa mulai ditetapkan untuk pengurangan penggunaan kendaraan bermotor, pembakaran sampah dan konsumsi rokok yang asapnya dapat mencemari udara. Kita juga mengetahui bahwa kebiasaan buruk di atas juga dapat meningkatkan potensi terjangkitnya covid-19, karena kesehatan pernapasan menjadi celah utama bagi virus ini.

Kondisi udara yang membaik ini, semoga dapat berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Rasa peduli itu akan terus ada, dan melahirkan harapan-harapan baru di masa depan, agar tak hanya kehidupan manusia, namun hewan, tumbuhan dan lingkungan juga memiliki masa depan yang baik.
Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya bisa lihat di sini.



Dekonstruksi dalam Penggalan Lirik Lagu BTS Pied Piper

Dekonstruksi dalam Penggalan Lirik Lagu BTS Pied Piper [Rap Monster] Berhenti menonton dan belajar untuk ujianmu Orangtuamu dan ...